Sumbangsih sawit
beserta turunannya dalam struktur ekspor sangat besar, sekitar 13% dari total
ekspor.
Sektor bisnis kelapa
sawit di Indonesia perlu terus dikembangkan. Integrasi yang menyeluruh antara
industri hulu dan hilir sawit harus segera diakselerasi. Pasalnya, peningkatan
volume ekspor crude palm oil (CPO) beserta turunannya dapat menjadi penyelamat
neraca perdagangan nasional yang terus mengalami defisit.
Menurut ekonom
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, para
pemangku kepentingan termasuk di dalamnya pemerintah harus fokus meningkatkan
volume ekspor CPO beserta turunannya.
Pasalnya, selama ini
ekspor CPO telah menjadi bantalan bagi defisit neraca perdagangan nasional.
“Sumbangsih sawit besertaturunannya dalam struktur ekspor itu sangat besar.
Sekitar 13% dari total ekspor.
Defisit neraca
perdagangan kita sekarang sekitar US$2 miliar. Kalau tidak ada sawit defisit
bisa sekitar US$21 miliar,” ujar Eko saat dihubungi di Jakarta,kemarin.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), nilai kumulatif ekspor non-migas pada periode
Januari-November 2014 mencapai US$133,69 miliar atau turun 1,95% dari 2013.
Sebanyak US$19,35 miliar di antaranya merupakan ekspor CPO beserta turunannya.
Adapun total defisit
neraca perdagangan pada periode yang sama mencapai US$2,07 miliar.
“Dari situ kita bisa
lihat peranan CPO yang besar terhadap gerak neraca perdagangan. Karena itu,
volume dan nilai ekspor sawit harus ditingkatkan. Jangan sampai turun atau
stagnan. Defisit kita bisa tambah dalam,” cetus Eko.
Eko menuturkan, ada
sejumlah cara yang bisa diambil pemerintah untuk mengenjot produksi dan ekspor
CPO beserta turunannya. Pertama, memperkuat pasar dalam negeri mengakselerisasi
hilirisasi produk-produk turunan sawit.
Meskipun pemerintah
telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mendukung penguatan industri sawit
dalam negeri, Eko mengatakan, implementasi di lapangan masih lamban.
Kebijakan
mandatori biodiesel pada 2014 misalnya,
belum mampu mencapai target. Pemanfaatan biodiesel hanya sebesar 1,53 juta
kiloliter dari target 4 juta kiloliter.
“Mandatori biodiesel
sudah bagus. Ada aksi. Tapi, dari sisi
target kan belum tercapai. Berarti ini ada permasalahan pada sisi
implementasi,” jelasnya.
Menurut Eko, pemerintah
juga bisa memberikan insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan ekspor
produk CPO turunan, semisal dengan mempertahankan pajak keluar 0% dan
menghilangkan regulasiregulasi yang menghambat ekspor.
“Memang dari sisi
pendapatan bea keluar akan berkurang. Tapi devisa dari pendapatan ekspor itu
kan jadi besar nantinya. Selain itu, hal ini juga akan mendorong produsen-produsen
untuk mengembangkan produk-produk CPO turunan dan mengekspornya. Seperti
diketahui, meskipun secara total produksi kita jauh unggul, kita masih kalah
dari Malaysia dari sisi added value,” kata dia.
Langkah lainnya, lanjut
Eko, ialah mencari pasar CPO potensial baru di luar negara-negara ‘tradisional’
pengimpor CPO
Indonesia. Selama ini, China dan India merupakan dua negara importir terbesar
CPO asal Indonesia. Namun, perekonomian kedua negara ini diprediksi bakal
melamban sehingga memengaruhi permintaan CPO.
“Pemerintah membantu
bisa mencari pasar CPO di negara-negara emerging market, misalnya di kawasan
Afrika atau di Timur Tengah. Di sini pemerintah bisa berperan. Kalau perusahaan
biasanya hanya bermain dengan pasar yang tradisional,” jelas dia.
Ke depan, sambungnya,
pemerintah harus membuat blue print atau road map bagi industri sawit. Dalam 5
atau 10 tahun pemerintah diharapkan telah memiliki langkah-langkah terukur
untuk mengintegrasikan industri hulu dan industri hilir.
“Misalnya pemerintah
mau mengarahkan untuk bikin industri oleokimia, apa saja yang perlu disiapkan.
Berapa lama jangka waktunya? Itu harus dihitung. Kita harus menjaga industri
ini supaya tetap berkembang. CPO itu unik, ini produk yang hanya tumbuh di
daerah tropis.
Kita punya keunggulan
komparatif di situ. Enggak dirawat dengan benar, nanti potensinya malah diambil
negara lain,” katanya.
Menggenjot ekspor
Hal senada diungkapkan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Joko Supriyono. Menurut Joko, untuk mengurangi defisit neraca perdagangan sulit
bagi pemerintah mengurangi impor karena berbagai kebutuhan pembangunan dalam
negeri yang memerlukan komponen impor.
“Hampir tidak mungkin
mengurangi impor. Kebutuhan kita dan aktivitas pembangunan sangat tergantung
pada impor. Bangun jalan, rel, pelabuhan dan infrastruktur lainnya pasti butuh
komponen impor.
Tingkatkan industri apa
pun pasti ada kandungan impornya. Jalan satu-satunya agar tidak defisit adalah
menggenjot ekspor,” jelasnya.
Lebih lanjut Joko
mengungkapkan, upaya-upaya meningkatkan volume dan nilai ekspor CPO beserta
turunannya harus menjadi fokus pemerintah ke depan.
Pasalnya, selain
terbukti membantu meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan, produk
CPO dan turunannya juga seratus persen bisa diusahakan oleh bangsa Indonesia
sendiri.
“Pemerintah harus
menggenjot ekspor komoditas yang beriorientasi ekpor tapi komponen impornya
rendah sekali. Salah satunya sawit,
hampir semuanya local content. Komponen impornya, kalau pun ada, minim
sekali,” terangnya.
Menurut catatan GAPKI,
saat ini terdapat 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sekitar
44% di antaranya merupakan perkebunan rakyat. Perusahaan swasta dan BUMN
masing-masing menguasai 49% dan 7%.
Pada 2014, industri
‘emas hijau’ ini mampu menyerap sekitar 21 juta tenaga kerja. Jika dibandingkan
dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit masih merupakan minyak nabati yang
paling produktif.
Produktivitas minyak
sawit rata-rata sekitar 4,27 ton per hektar, jauh lebih jika tinggi
dibandingkan dengan rapeseed dan bunga matahari yang memiliki produktivitas
sebesar 0,69 ton per hektare dan 0,52 ton per hektare. Adapun produktivitas
minyak kedelai hanya sekitar 0,45 ton per hektare.
Pada 2014, produksi
minyak sawit Indonesia telah mencapai sekitar 31 juta ton. Sebanyak 21,76 juta
ton di antaranya diekspor ke luar negeri. Tahun ini, jumlah produksi minyak
sawit diperkirakan akan meningkat hingga 31,5 juta ton. (S-25)
dior[at]mediaindonesia.com
0 Response to "DORONG SAWIT SELAMATKAN DEFISIT"
Posting Komentar